='body-fauxcolumns'>

Saturday 5 April 2014

REINO R. BARACK: Sukses Diplomasi Anak Muda

Seandainya tidak berasal dari keluarga berdarah Jepang, seorang Reino Ramaputra Barack yang belum genap berusia 30 tahun, mungkin tidak akan sesukses ini. Kultur dan filosofi budaya Jepang yang kental, sukses membawanya ke posisi penting di grup MNC, sebagai Senior Vice President Business Development Global Mediacom.
OLEH: ARIA WICAKSANA
 
BELAJAR DARI ANIME & TOKUSATSU

Reino kecil hidup di eranya super hero Jepang, baik itu anime (kartun), maupun tokusatsu (non-anime/ manusia nyata, contohnya Ksatria Baja Hitam). Dengan kemampuan bahasa Jepangnya, Reino yang lahir pada 21 Juni 1984 tidak mengalami kesulitan untuk mencerna serial Kikaider, Inazuman, Kamen Rider, Cyborg 009, Gaban, Ultraman, dsb. Yang ia ingat, semua tontonan itu memberikan pelajaran moral yang sangat baik. Mulai dari semangat pantang menyerah, suka menolong, disiplin, rela berkorban, dan menjunjung rasa keadilan yang tinggi.

Putra dari Rosano Barack, Presiden Komisaris Global Mediacom ini menghabiskan masa kecilnya di Jakarta, dan sempat bersekolah di Al-Azhar pusat. Sejak lulus dari jurusan “International Finance" & "International Economics” American University di Paris, Perancis pada tahun 2007, ia memulai pengalaman kerjanya sebagai equity officer di Merrill Lynch, Tokyo, Jepang, tempat dimana kakek-neneknya masih tinggal sampai sekarang.

Pada November 2008 ia masuk ke PT Global Mediacom Tbk sebagai Business Development Manager dan Corporate Finance. Global Mediacom yang dahulu bernama PT Bimantara Citra Tbk. adalah perusahaan investasi milik MNC yang menaungi seluruh perusahaan media dan telekomunikasi MNC, seperti RCTI, Koran Sindo, Okezone.com, dan Indovision. Walaupun bukan tugas utamanya, tapi sejak hari pertama, ia selalu memberikan masukan tentang pentingnya program anak yang mendidik untuk bisa tayang di Indonesia, demi generasi mendatang yang lebih baik. Iya menyadari betul, bisnis media adalah bisnis yang mendewakan keuntungan, dan sebuah program dengan muatan pendidikan yang kental, susah untuk dijual. Beragam program kartun pernah coba ia tawarkan, namun tidak ada yang bertahan lama.

KERJA KERAS MERUBAH MINDSET
Pada majalah VENUE saat ditemui di kantornya di MNC Tower lt.28, Reino mengutarakan, “Kalau kita lihat sekarang, banyak suasana kerja yang tidak efektif, banyak yang makan gaji buta, itu karena mindset mereka sudah salah. Mereka sudah tidak punya semangat, kreatifitas, impian, dan harapan. Merubah generasi sekarang sudah tidak mungkin, sudah dewasa, mindsetnya sudah terbentuk. Tapi kalau anak kecil, dengan kita kasih tontonan yang mendidik, saya punya harapan suatu hari pasti bisa.”

Di Jepang, Anime dan Tokusatsu bukan sekedar tontonan. Mereka sudah jadi industri besar yang melibatkan banyak perusahaan besar dengan keuntungan maksimal. Serial Tokusatsu saat ini adalah serial dengan spesial efek tercanggih, kendaraan yang muncul di serialnya adalah kendaraan-kendaraan terbaru dari industri otomotif Jepang, begitu juga dengan merchandise dan mainan dari para jagoannya, menggunakan inovasi terbaru dari pabrik mainan terbesar di dunia.

Reino pun mencontohkan, “Kamen Rider Wizard yang sedang tayang di Jepang, punya banyak cincin yang menjadi sumber kekuatannya, kurang lebih ada 140 jenis. Mainan cincinnya ini bisa nyala, harga satuannya Rp 50.000, dan sampai sekarang sudah mencatat penjualan ratusan milyar! Itu hanya dari mainan kecilnya saja, belum termasuk aksesoris lain seperti robot dan senjata yang harga satuannya jauh lebih mahal. Itu yang terus saya yakinkan ke manajemen di sini, terus saya doktrin sampai akhirnya mereka mau terima. Saya perkenalkan bisnis licensing ke mereka. Kita buat serial yang memiliki intellectual property right yang bisa dijual mahal.”

SUKSES SATRIA GARUDA
Reino akhirnya kembali ke Jepang, demi menyalurkan idealisme sekaligus merealisasikan model bisnis yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Ia menyasar Ishimori Pro, perusahaan yang sudah 75 tahun memproduksi serial Animasi dan Tokusatsu, termasuk Kamen Rider Black (Ksatria Baja Hitam). Karena untuk bisa memproduksi serial super hero berkualitas, ia harus langsung minta bantuan ahlinya. Uniknya, Reino tidak menemui kesulitan untuk meyakinkan mereka. “Dalam mengajukan proposal bisnis partnership, yang paling susah itu harus saling mengerti, memahami ide dan merasa dekat, seperti orang pacaran. Karena dari kecil saya sudah nonton semua karya mereka, saya bisa ceritakan pesan moral yang mereka sampaikan dari semua itu, mereka amazed, dan akhirnya mendukung.” Ishimori Pro kemudian mengeksekusi semua desain dan cerita yang diajukan Reino, termasuk supervisi dalam pembuatan kostum, koreografi pertarungan, dan penyutradaraan. Tapi adik ipar dari Gareth Evans, sutradara film The Raid ini tidak menyerahkan sepenuhnya produksi Bima pada pihak Jepang. “Karena orang kita juga harus bisa belajar, kalau tidak, kapan kita bisa merdeka?," ujarnya sambil menekankan kalau Bima adalah produksi lokal.

Setelah itu ia menuju ke perusahaan mainan terbesar di dunia yang bermarkas di Jepang, Namco Bandai Holdings Inc. Walaupun sudah mengantongi dukungan Ishimori Pro, meyakinkan perusahaan yang sudah membukukan penjualan Rp 53 trilyun di tahun 2013 ini tidak mudah. Alasannya sederhana, mereka tidak percaya. “Di Indonesia bisnis licensing masih sangat-sangat kecil, terlalu kecil, sampai kalau lihat angkanya saya mau ketawa. Saya tidak ungkapkan itu ke mereka, karena tidak ada 1% dari jualannya mereka.” Tapi di Indonesia, Bandai termasuk perusahaan yang cukup sukses, boys toys seperti Power Rangers dan Ben10 sangat laku, itu yang membuat mereka mau mencoba. Reino pun menambahkan, “Kebanyakan perusahaan Jepang takut, sebetulnya mau (kerjasama dengan pihak asing), tapi tidak tau caranya, akhirnya tidak jadi. Makanya di Jepang banyak perusahaan konsultan yang tugasnya menjembatani kepentingan-kepentingan bisnis tadi.”

Setelah mengamankan deal-deal di tahun 2011, Reino mulai melakukan riset mendalam untuk super hero pertamanya. Dipilih nama Bima karena mudah diingat orang, dan di negara manapun tetap akan dipanggil Bima. Nama yang sederhana, karena kalau dibuat rumit, marketing fee-nya akan semakin tinggi. Reino juga tidak khawatir kalau ada yang mengaitkannya dengan Bima Pandawa Lima dari cerita Mahabharata. Katanya, “Apa anak-anak sekarang kenal Pandawa Lima? Justru saya berharap mereka bisa cari tahu sendiri Pandawa Lima dari Bima. Nama Bima juga tidak bisa dipatenkan, karena satu nama itu milik semua orang, kita tidak bisa dituntut karena menggunakan nama itu. Brand kita “Bima Satria Garuda”, itu yang kita patenkan”.

Sejak tayang 30 Juni lalu, walaupun menelan biaya yang sangat besar untuk sebuah serial TV, saat ini Bima sudah bisa balik modal. “Budget satu episode kita bisa bikin film layar lebar versi murah. Awalnya jujur saya takut, management tidak ada yang setuju, tidak mungkin bisa katanya, tapi syukur Alhamdulillah. Rating dan share-nya bagus, walaupun kita tayang pagi, tapi harga iklan kita bisa sama seperti tayangan di jam prime time malam hari. Termasuk rekor dalam dunia pertelevisian Indonesia. Kuncinya karena kita tidak berharap dari iklan di TV, tapi dari licensing bisnis tadi.” Sedikit berpromosi, Reino menambahkan, “Kalau saya product manufacturer, saya akan ambil Bima, intellectual property right pertama di Indonesia. Suzuki (yang juga mensponsori Ksatria Baja Hitam) bahkan sudah masuk dari shooting belum dimulai.” Saat ini Suzuki sudah memasarkan Satria FU 150 baru dengan pemeran Bima sebagai bintang iklannya. Bisa dibayangkan ke depannya akan ada banyak merk makanan, kaos, sandal jepit, buku tulis, atau apapun yang akan turut tumbuh berkembang bersama Bima Satria Garuda.

TARGET INTERNASIONAL
Walaupun belum mendapat laporan awal dari penjualan mainan Bima, tapi Reino sudah mendapat bocoran kalau hasilnya sangat bagus. “Bandai akan membuat lini mainan baru untuk Bima, makanya mereka mendukung sekali kalau Bima bisa tayang di luar negeri, termasuk di Jepang, memang sejak awal itu rencana saya.” Tidak tanggung-tanggung, Reino yang juga membidani lahirnya “girl band” JKT48, menargetkan 6 milyar penduduk dunia bisa menjadi pasar produk lisensinya.

“Kalau brand itu punya sendiri, amortisasinya lama, bisa sampai puluhan tahun," ujarnya mencontoh serial Kamen Rider yang sudah dibuat sejak tahun 1971, tapi merchandise dan mainannya masih laku dijual sampai sekarang. Begitu juga dengan Satria Series miliknya, sudah direncanakan untuk terus dibuat jangka panjang. “Tidak akan efektif kalau nilai-nilai kebaikan yang diajarkan itu hanya untuk setahun kemudian lewat, makanya kita butuh dukungan model bisnis yang kuat," ujarnya.

Dibalik potensi bisnis yang sangat besar, ia tidak melupakan idealisme awal, berharap karyanya ini bisa bermanfaat untuk kemajuan bangsa. “Ayah saya selalu mengingatkan, manusia dalam bahasa Jepang dibacanya “hito”, digambarkan dalam bentuk kanji yang saling menopang, dan tidak bisa berdiri sendiri. Maka dari itu, jadilah manusia yg berguna untuk orang lain, kalau di dunia cuma mau untung terus, iya mungkin ada yang bisa bayar, tapi apa di akhirat demikian? Setidaknya saya sudah berkontribusi," tutupnya pada VENUE.


Penulis & Reino memamerkan mainannya...