Seandainya
tidak berasal dari keluarga berdarah Jepang, seorang Reino Ramaputra Barack
yang belum genap berusia 30 tahun, mungkin tidak akan sesukses ini. Kultur dan
filosofi budaya Jepang yang kental, sukses membawanya ke posisi penting di grup
MNC, sebagai Senior Vice President Business Development Global Mediacom.
OLEH:
ARIA WICAKSANA
BELAJAR DARI
ANIME & TOKUSATSU
Reino
kecil hidup di eranya super hero Jepang, baik itu anime (kartun), maupun
tokusatsu (non-anime/ manusia nyata, contohnya Ksatria Baja Hitam). Dengan
kemampuan bahasa Jepangnya, Reino yang lahir pada 21 Juni 1984 tidak mengalami
kesulitan untuk mencerna serial Kikaider, Inazuman, Kamen Rider, Cyborg 009,
Gaban, Ultraman, dsb. Yang ia ingat, semua tontonan itu memberikan pelajaran
moral yang sangat baik. Mulai dari semangat pantang menyerah, suka menolong,
disiplin, rela berkorban, dan menjunjung rasa keadilan yang tinggi.
Putra dari
Rosano Barack, Presiden Komisaris Global Mediacom ini menghabiskan masa
kecilnya di Jakarta, dan sempat bersekolah di Al-Azhar pusat. Sejak lulus dari
jurusan “International Finance" & "International Economics”
American University di Paris, Perancis pada tahun 2007, ia memulai pengalaman
kerjanya sebagai equity officer di Merrill Lynch, Tokyo, Jepang, tempat dimana
kakek-neneknya masih tinggal sampai sekarang.
Pada
November 2008 ia masuk ke PT Global Mediacom Tbk sebagai Business Development
Manager dan Corporate Finance. Global Mediacom yang dahulu bernama PT Bimantara
Citra Tbk. adalah perusahaan investasi milik MNC yang menaungi seluruh
perusahaan media dan telekomunikasi MNC, seperti RCTI, Koran Sindo,
Okezone.com, dan Indovision. Walaupun bukan tugas utamanya, tapi sejak hari
pertama, ia selalu memberikan masukan tentang pentingnya program anak yang
mendidik untuk bisa tayang di Indonesia, demi generasi mendatang yang lebih
baik. Iya menyadari betul, bisnis media adalah bisnis yang mendewakan
keuntungan, dan sebuah program dengan muatan pendidikan yang kental, susah
untuk dijual. Beragam program kartun pernah coba ia tawarkan, namun tidak ada
yang bertahan lama.
KERJA
KERAS MERUBAH MINDSET
Pada
majalah VENUE saat ditemui di kantornya di MNC Tower lt.28, Reino mengutarakan,
“Kalau kita lihat sekarang, banyak suasana kerja yang tidak efektif, banyak
yang makan gaji buta, itu karena mindset mereka sudah salah. Mereka sudah tidak
punya semangat, kreatifitas, impian, dan harapan. Merubah generasi sekarang
sudah tidak mungkin, sudah dewasa, mindsetnya sudah terbentuk. Tapi kalau anak
kecil, dengan kita kasih tontonan yang mendidik, saya punya harapan suatu hari
pasti bisa.”
Di
Jepang, Anime dan Tokusatsu bukan sekedar tontonan. Mereka sudah jadi industri
besar yang melibatkan banyak perusahaan besar dengan keuntungan maksimal.
Serial Tokusatsu saat ini adalah serial dengan spesial efek tercanggih,
kendaraan yang muncul di serialnya adalah kendaraan-kendaraan terbaru dari
industri otomotif Jepang, begitu juga dengan merchandise dan mainan dari para
jagoannya, menggunakan inovasi terbaru dari pabrik mainan terbesar di dunia.
Reino
pun mencontohkan, “Kamen Rider Wizard yang sedang tayang di Jepang, punya
banyak cincin yang menjadi sumber kekuatannya, kurang lebih ada 140 jenis.
Mainan cincinnya ini bisa nyala, harga satuannya Rp 50.000, dan sampai sekarang
sudah mencatat penjualan ratusan milyar! Itu hanya dari mainan kecilnya saja,
belum termasuk aksesoris lain seperti robot dan senjata yang harga satuannya
jauh lebih mahal. Itu yang terus saya yakinkan ke manajemen di sini, terus saya
doktrin sampai akhirnya mereka mau terima. Saya perkenalkan bisnis licensing ke
mereka. Kita buat serial yang memiliki intellectual property right yang bisa
dijual mahal.”
SUKSES
SATRIA GARUDA
Reino
akhirnya kembali ke Jepang, demi menyalurkan idealisme sekaligus merealisasikan
model bisnis yang belum pernah ada sebelumnya di Indonesia. Ia menyasar
Ishimori Pro, perusahaan yang sudah 75 tahun memproduksi serial Animasi dan
Tokusatsu, termasuk Kamen Rider Black (Ksatria Baja Hitam). Karena untuk bisa
memproduksi serial super hero berkualitas, ia harus langsung minta bantuan
ahlinya. Uniknya, Reino tidak menemui kesulitan untuk meyakinkan mereka. “Dalam
mengajukan proposal bisnis partnership, yang paling susah itu harus saling
mengerti, memahami ide dan merasa dekat, seperti orang pacaran. Karena dari
kecil saya sudah nonton semua karya mereka, saya bisa ceritakan pesan moral
yang mereka sampaikan dari semua itu, mereka amazed, dan akhirnya mendukung.”
Ishimori Pro kemudian mengeksekusi semua desain dan cerita yang diajukan Reino,
termasuk supervisi dalam pembuatan kostum, koreografi pertarungan, dan
penyutradaraan. Tapi adik ipar dari Gareth Evans, sutradara film The Raid ini
tidak menyerahkan sepenuhnya produksi Bima pada pihak Jepang. “Karena orang
kita juga harus bisa belajar, kalau tidak, kapan kita bisa merdeka?,"
ujarnya sambil menekankan kalau Bima adalah produksi lokal.
Setelah
itu ia menuju ke perusahaan mainan terbesar di dunia yang bermarkas di Jepang,
Namco Bandai Holdings Inc. Walaupun sudah mengantongi dukungan Ishimori Pro,
meyakinkan perusahaan yang sudah membukukan penjualan Rp 53 trilyun di tahun
2013 ini tidak mudah. Alasannya sederhana, mereka tidak percaya. “Di Indonesia
bisnis licensing masih sangat-sangat kecil, terlalu kecil, sampai kalau lihat
angkanya saya mau ketawa. Saya tidak ungkapkan itu ke mereka, karena tidak ada
1% dari jualannya mereka.” Tapi di Indonesia, Bandai termasuk perusahaan yang
cukup sukses, boys toys seperti Power Rangers dan Ben10 sangat laku, itu yang
membuat mereka mau mencoba. Reino pun menambahkan, “Kebanyakan perusahaan
Jepang takut, sebetulnya mau (kerjasama dengan pihak asing), tapi tidak tau
caranya, akhirnya tidak jadi. Makanya di Jepang banyak perusahaan konsultan
yang tugasnya menjembatani kepentingan-kepentingan bisnis tadi.”
Setelah
mengamankan deal-deal di tahun 2011, Reino mulai melakukan riset mendalam untuk
super hero pertamanya. Dipilih nama Bima karena mudah diingat orang, dan di
negara manapun tetap akan dipanggil Bima. Nama yang sederhana, karena kalau
dibuat rumit, marketing fee-nya akan semakin tinggi. Reino juga tidak khawatir
kalau ada yang mengaitkannya dengan Bima Pandawa Lima dari cerita Mahabharata.
Katanya, “Apa anak-anak sekarang kenal Pandawa Lima? Justru saya berharap
mereka bisa cari tahu sendiri Pandawa Lima dari Bima. Nama Bima juga tidak bisa
dipatenkan, karena satu nama itu milik semua orang, kita tidak bisa dituntut
karena menggunakan nama itu. Brand kita “Bima Satria Garuda”, itu yang kita
patenkan”.
Sejak
tayang 30 Juni lalu, walaupun menelan biaya yang sangat besar untuk sebuah
serial TV, saat ini Bima sudah bisa balik modal. “Budget satu episode kita bisa
bikin film layar lebar versi murah. Awalnya jujur saya takut, management tidak
ada yang setuju, tidak mungkin bisa katanya, tapi syukur Alhamdulillah. Rating
dan share-nya bagus, walaupun kita tayang pagi, tapi harga iklan kita bisa sama
seperti tayangan di jam prime time malam hari. Termasuk rekor dalam dunia
pertelevisian Indonesia. Kuncinya karena kita tidak berharap dari iklan di TV,
tapi dari licensing bisnis tadi.” Sedikit berpromosi, Reino menambahkan, “Kalau
saya product manufacturer, saya akan ambil Bima, intellectual property right
pertama di Indonesia. Suzuki (yang juga mensponsori Ksatria Baja Hitam) bahkan
sudah masuk dari shooting belum dimulai.” Saat ini Suzuki sudah memasarkan
Satria FU 150 baru dengan pemeran Bima sebagai bintang iklannya. Bisa
dibayangkan ke depannya akan ada banyak merk makanan, kaos, sandal jepit, buku
tulis, atau apapun yang akan turut tumbuh berkembang bersama Bima Satria
Garuda.
TARGET
INTERNASIONAL
Walaupun
belum mendapat laporan awal dari penjualan mainan Bima, tapi Reino sudah
mendapat bocoran kalau hasilnya sangat bagus. “Bandai akan membuat lini mainan
baru untuk Bima, makanya mereka mendukung sekali kalau Bima bisa tayang di luar
negeri, termasuk di Jepang, memang sejak awal itu rencana saya.” Tidak
tanggung-tanggung, Reino yang juga membidani lahirnya “girl band” JKT48,
menargetkan 6 milyar penduduk dunia bisa menjadi pasar produk lisensinya.
“Kalau brand
itu punya sendiri, amortisasinya lama, bisa sampai puluhan tahun," ujarnya
mencontoh serial Kamen Rider yang sudah dibuat sejak tahun 1971, tapi
merchandise dan mainannya masih laku dijual sampai sekarang. Begitu juga dengan
Satria Series miliknya, sudah direncanakan untuk terus dibuat jangka panjang.
“Tidak akan efektif kalau nilai-nilai kebaikan yang diajarkan itu hanya untuk
setahun kemudian lewat, makanya kita butuh dukungan model bisnis yang
kuat," ujarnya.
Dibalik
potensi bisnis yang sangat besar, ia tidak melupakan idealisme awal, berharap
karyanya ini bisa bermanfaat untuk kemajuan bangsa. “Ayah saya selalu
mengingatkan, manusia dalam bahasa Jepang dibacanya “hito”, digambarkan dalam
bentuk kanji yang saling menopang, dan tidak bisa berdiri sendiri. Maka dari
itu, jadilah manusia yg berguna untuk orang lain, kalau di dunia cuma mau
untung terus, iya mungkin ada yang bisa bayar, tapi apa di akhirat demikian?
Setidaknya saya sudah berkontribusi," tutupnya pada VENUE.
Penulis
& Reino memamerkan mainannya...