='body-fauxcolumns'>

Thursday, 25 September 2014

Kuliah Sambil Kerja, Bukan Hanya Orientasi Duit





Kuliah Sambil Kerja

Mengambil keputusan untuk berkuliah di luar kota, bagi saya menjadi sebuah masa yang bersejarah dalam kehidupan saya dan keluarga. Tidak mudah untuk berjalan dengan keputusan tersebut, mengingat secara finansial, kuliah di luar kota membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk ukuran ekonomi keluarga saya. Bapak dan Emak saya sempat menghalangi saya untuk berkuliah di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Alasan mereka adalah, apakah bisa membiayai hingga selesai kuliah? Pertanyaan itu terus “mengganggu” karena profesi Bapak yang bekerja sebagai seorang tukang sampah dan Emak yang berjualan pecel di rumah. Dengan gaji yang tidak tinggi, pertanyaan itu memang relevan dan pantas untuk dilayangkan dan dipertimbangkan.

Setelah melalui diskusi yang panjang, akhirnya saya diperbolehkan kuliah di Kota Salatiga, dengan catatan mau rekoso dan susah. Orang tua akan berusaha sekuat tenaga untuk dapat memenuhi kebutuhan uang kuliah. Kalau untuk kebutuhan sehari-hari, saya diminta untuk menerima apa yang ada. Saya mengiyakan. Saya pun mengatakan bahwa saya akan mencari kerja dan mendaftar beasiswa dengan maksud agar membantu meringankan beban orang tua. Saya percaya akan ada jalan.

Tahun 2003/2004, di tahun pertama, saya memang tidak bekerja sebagaimana yang telah saya rencanakan. Orientasi pertama saya adalah belajar supaya mendapatkan nilai IPK yang tinggi. Saya sadar betul, bahwa nilai tersebut nantinya akan sangat membantu dalam mewujudkan rencana-rencana yang telah saya susun. Awal-awal kuliah adalah masa-masa krusial bagi tahapan penyelesaian perkuliahan, oleh sebab itu saya perlu memanfaatkan kesempatan tersebut agar tidak menyesal dan mengulang di semester berikutnya. Dengan nilai yang tinggi, saya berpeluang untuk mendapatkan pekerjaan sebagai asisten dosen, asisten penelitian hingga mendapatkan beasiswa.

Tuhan membuka jalan. Nilai semester pertama dan kedua sangat memuaskan. Dengan bekal tersebut saya memberanikan diri mendaftar sebagai asisten dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Saya diterima. Dalam catatan saya, sejak tahun ajaran 2004/2005 hingga awal tahun 2008, saya bekerja sebagai asisten dosen untuk matakuliah Aplikasi Teknologi Informasi, 

Statistika dan Ekonometrika. Pekerjaan utamanya adalah masuk di laboratorium komputer di kelas dosen matakuliah tersebut dan bertugas untuk membantu mahasiswa yang mengambil matakuliah. Sesekali, saya juga diminta untuk mengisi apabila dosen berhalangan hadir.

Selain kuliah, saya juga tidak melupakan aktivitas berorganisasi mahasiswa. Meskipun tidak ada imbalan finansial, tapi saya menganggap bahwa saya juga bekerja. Aktivitasnya berupa turut serta dalam kepanitiaan dan menjadi pengurus. Di bagian ini, saya ibarat sekali merengguh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Mengapa? Melalui aktivitas di organisasi mahasiswa, selain saya mendapatkan pengalaman berorganisasi dan menambah jejaring, saya juga mendapatkan point keaktifan yang dipakai sebagai syarat kelulusan. Sistem Point Card yang diterapkan tersebut mensyaratkan total angka tertentu supaya seorang mahasiswa bisa mendapat sertifikat kelulusan.

Jika dituliskan dalam agenda harian, aktivitas saya terhitung banyak dan padat. Namun demikian, saya begitu menikmati aktivitas tersebut. Kuliah tetap menjadi prioritas utama, sedangkan pekerjaan dan aktivitas keorganisasian menjadi kegiatan yang mendukung dan menyeimbangkan kegiatan perkuliahan. Saya memiliki keyakinan bahwa aktivitas-aktivitas yang saya kerjakan akan sangat memiliki manfaat sebagai media pengembangan diri.

Merenda Masa Depan

Kembali ke kisah saya bersama dengan keluarga. Ketika saya diterima sebagai asisten dosen, saya cukup bangga karena perkataan saya kepada orang tua bisa saya buktikan. Walaupun secara finansial, gaji yang saya terima kecil, tapi saya sangat bersyukur ketika masa-masa akhir perkuliahan mengambil gaji sebagai imbalan pekerjaan sebagai asisten dosen. Uang tersebut saya pakai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan biaya hidup yang relatif murah, kalau makan cukup nasi bungkus lima ribu rupiah, saya hidup tidak kekurangan. Saya bisa meringankan beban finansial orang tua karena saya sebetulnya  perkewuh ketika meminta uang atau diberi uang oleh orang tua.

Saya sangat bersyukur memiliki orang tua yang luar biasa. Dengan kemampuan yang mereka miliki, mereka menginvestasikan anak-anaknya melalui pendidikan. 

Saya selaludeg-degan ketika meminta uang kuliah, tetapi ketika saya meminta, entah bagaimana orang tua mengatur keuangan, uang kuliah itu selalu dibayar tepat waktu dan tidak terlambat. Oleh sebab itulah, saya akan merasa sangat bersalah ketika saya tidak memiliki belajar dengan baik. Saya sangat percaya bahwa prestasi di sekolah yang bisa membuat orang tua bangga dan mampu mengangkat derajat kehidupan keluarga.

Selain serius belajar, saya juga berusaha untuk meringankan finansial keluarga. Jalannya melalui bekerja sebagai asisten dosen seperti yang saya ceritakan di bagian pertama. Dengan aktif berorganisasi juga, saya memberanikan diri mendaftar salah satu program beasiswa yang diumumkan di kampus. Melihat kriteria yang disyaratkan, saya mengumpulkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan, misalkan mengisi formulir, transkrip, fotokopi identitas, Kartu KK hingga surat keterangan tidak mampu dari kelurahan. Di formulir pendaftaran, saya menuliskan aktivitas dan kegiatan saya karena biasanya hal itu akan menjadi bahan pertimbangan.

Hasilnya, saya berhasil mendapatkan beasiswa PPA dari Dikti. Bagaimana saya tidak bersyukur ketika saya mendapat pengumuman tersebut. Beasiswa tersebut saya pakai untuk membayar uang kuliah. Dengan kata lain, saya telah meringankan beban pikiran orang tua. Mendapatkan beasiswa PPA itu, saya juga diharuskan untuk bekerja dengan total jam tertentu di salah satu unit di kampus atau fakultas. Dengan senang hati saya melakukannya.

Dari aktivitas kuliah, bekerja sebagai asisten dosen, aktif di organisasi kemahasiswaan, secara pelan-pelan merenda masa depan saya sendiri. Dengan keterbatasan kemampuan ekonomi keluarga, Tuhan membuka jalan-jalan berkat-Nya sehingga saya bisa lulus jenjang Sarjana. Meskipun secara finansial nilai beasiswa dan kompensasi dari pekerjaan di kampus tidak besar, namun jalan tersebut telah menyokong kehidupan sehari-hari saya sehingga saya bisa melewati masa-masa perkuliahan dengan manis.

Kompensasi lain yang saya terima dan tidak bisa dinilai dengan uang adalah, saya mendapat pengalaman dan pelajaran hidup yang membentuk saya menjadi seorang manusia. Orientasi saya bekerja dan beraktivitas selama perkuliahan sebetulnya bukanlah uang, meskipun uang itu penting tapi bukan menjadi yang utama,  melainkan pengalaman, persahabatan dan jejaring yang nilainya tidak bisa dirupiahkan.

Dengan bekerja sebagai asisten dosen, saya otomatis menjadi dekat dengan dosen dan staf di fakultas dan kampus. Saya juga sempat menjadi koordinator asisten untuk satu semester. Dengan tambahan tanggung jawab itu, simpul-simpul modal sosial saya menjadi lebih kuat dan luas. Kedekatan dengan beberapa dosen juga membuka jalan rejeki karena saya diminta membantu penelitian-penelitian yang tengah dikerjakan. Dengan begitu, selain tambahan finansial untuk kebutuhan sehari-hari, pengalaman bergelut dalam pekerjaan itu juga secara langsung dan tidak langsung menambah wawasan, pengetahuan sekaligus persahabatan.

Kuliah sambil kerja menjadi topik yang sering diperbincangkan kalangan pelajar/mahasiswa baik di dalam maupun di luar negeri. Motivasinya beragam. Ketika kuliah di Salatiga dulu, uang bukan menjadi prioritas saya, meskipun tidak bisa ditolak, saya uang sangatlah dibutuhkan waktu itu. Asalkan bisa beli nasi bungkus di Warung Gelegar yang terletak di Jalan Kemiri Salatiga cukuplah. Saya menyadari bahwa ada hal-hal tertentu yang nilainya jauh lebih dari uang.

Saya percaya bahwa segala aktivitas dan kegiatan selama perkuliahan itu tidak menjadi sejarah yang akan berlalu begitu saja, melainkan bisa menjadi sejarah hidup yang tercatat dan terus dikenang. Saya sangat menikmati pekerjaan yang saya lakukan sebab juga dituntut untuk terus belajar. Saya perlu dinamis dan tidak stagnan, sebab what’s stagnant becomes irrelevant. Melalui kuliah sambil belajar, saya banyak bertemu dengan orang-orang dan sahabat-sahabat baru yang menjadi tempat berbagi dan saling bertukar ide.

Dengan aktivitas dan pekerjaan itu, saya menyusun dan merangkai kepingan-kepingan kehidupan. Ada suka dan duka yang ditemui dan itu wajar. Contohnya, di saat yang bersamaan, tugas, ujian dan beban kerja bisa datang bersamaan. Di akhir perkuliahan, ada beberapa mahasiswa yang meminta tolong supaya matakuliahnya lulus, padahal saya tidak bertanggung jawab dalam pemberian nilai. Beruntung, ketika itu dinikmati, semua bisa berjalan lancar.

Apa yang saya kerjakan selama perkuliahan menghasilkan buahnya. Dengan bekal-bekal selama kuliah itu, meskipun tidak begitu percaya diri, seusai kuliah, saya memberanikan diri mendaftar program beasiswa yang sangat kompetitif, International Fellowships Program. Ini adalah aplikasi pertama yang saya kerjakan untuk kuliah jenjang S2 setelah saya lulus Sarjana dan sempat bekerja 2,5 tahun di Bali. Saya memasukkan setiap aktivitas dan pengalaman kuliah yang saya miliki termasuk meminta beberapa dosen yang saya kenal untuk memberikan surat rekomendasi sebagai syarat yang diminta.

Dari sekitar 9000 pelamar, saya dinyatakan lolos dan masuk dalam 50 orang penerima beasiswa yang disponsori oleh Ford Foundation itu. Di angkatan itu saja, belum termasuk angkatan sebelumnya, saya bisa berkenalan dan bertemu dengan penulis hebat Bang Yusran Darmawan atau perintis PeaceGeneration, Kang Irfan Amalee, dan orang-orang dahsyat lain yang datang dari seluruh Nusantara.

Saya percaya bahwa pengalaman kerja yang saya peroleh ketika kuliah, menjadi salah satu pertimbangan juri sehingga saya bisa lolos mendapatkan beasiswa. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi jika saya tidak memberanikan diri berkuliah di Salatiga dan kemudian berinisiatif untuk bekerja dan beraktivitas kemahasiswaan? Barangkali ceritanya akan lain, hanya Tuhan yang tahu. Mungkin saya tidak bisa mendapat surat rekomendasi dari Pak Martin Ndoen dan Prof. Kaler Surata sebagai syarat pengajuan beasiswa karena saya tidak kenal dekat.

Saya banyak mendapat pengalaman berharga dari kuliah sambil bekerja. Selama bekerja dengan iklas dan dengan doa restu dari orang tua, maka Tuhan akan membuka jalan-jalan berkat dan rejeki. Sukses untuk semua.